Jumat, 29 Februari 2008

that's me

Oang bilang saya anak mahal, maklum saya lahir setelah tiga tahun usia perkawinan ortu. Tapi biar bagaimana pun saya produk asam dari gunung ketemu garam dari laut di Jakarta.
So, mari berharap kiprah saya akan menghiasi masa depan negeri ini.

Rabu, 13 Februari 2008

Rekrut atau Bangkrut

Agen berlisensi, Rekrut atau Bangkrut!
Oleh Fahmi Achmad
Bisnis Indonesia

Awal tahun ini, dunia asuransi jiwa mulai diliputi kontroversi soal sertifikasi agen asuransi. Pro kontra terjadi seputaran lisensi agen apakah perlu yang berstatus sementara atau langsung berstatus penuh.
Pemicu kontroversi karena para perusahaan asuransi yang memiliki agen bersertifikat sementara, harus menghadapi tenggat April 2008 untuk mengubah statusnya menjadi agen berlisensi penuh.
Tak sedikit asuransi terutama yang baru memiliki jumlah agen minim kelabakan dengan tenggat tersebut. Keberatan disampaikan dan gayung pun bersambut dengan keputusan AAJI memundurkan pelaksanaan penghapusan lisensi sementara menjadi 2010.
Sebagai tahap awal lisensi sementara selama enam bulan hanya berlaku dari Januari 2008 hingga Desember 2008, sedangkan tahap kedua mulai Januari 2009 hingga Maret 2010 lisensi sementara hanya berlaku tiga bulan.
Lisensi sementara merupakan sertifikat bagi agen baru untuk dapat langsung memasarkan produk asuransi, berlaku enam bulan. Selain menjual produk, agen juga bersiap mengikuti ujian AAJI guna mendapatkan lisensi penuh.
Akan tetapi persoalan lisensi agen tak berhenti di situ? Suara tuntutan terus bergema terutama menyangkut transparansi dan gugatan urgensi proses ujian sertifikasi penuh bagi agen yang notabene menjadi beban perusahaan.
Liza Linda dan Reza Manggoes dari PT Asuransi Jiwa Recapital (Relife) mungkin menjadi dua nama yang termasuk keras menyuarakan tuntutan transparansi biaya ujian sertifikasi agen.
Liza yang merintis karir dari agen asuransi menjadi Dirut Relife mengatakan dirinya sangat mendukung adanya sertifikasi agen. Akan tetapi, kesesuaian biaya harus menjadi pertimbangan.
Bagi dia, biaya mengikuti ujian mendapatkan lisensi penuh yang dinaikkan dari Rp25.000 menjadi Rp350.000 per orang sangat tidak masuk akal. “Ini akan menghambat perekrutan agen. Masa’ orang harus menyetor dulu untuk menjadi agen, sudah syukur dia mau menjadi agen asuransi kenapa harus dipersulit,” ujar Liza.
Ucapan Liza cukup rasional. Profesi agen tak cukup besar menyerap tenaga kerja. Pada 2006, setidaknya 125.925 orang tercatat menjadi agen asuransi, atau hanya meningkat sekitar 10.000 orang dari dari tahun sebelumnya yang hanya 115.871 orang.
Per Juli 2007, total jumlah agen 150.000 orang yang bila dibandingkan dengan total populasi terhitung masih sangat rendah, rasionya 1 agen melayani hampir 1.500 orang. Di negara tetangga rata-rata setiap agen melayani 300-400 penduduk.
Idealnya, Indonesia, harus memiliki 500.000 orang agen profesional. Inilah yang ditargetkan AAJI yang diharapkan akan bisa tercapai pada 2010.
Sebegitu susahkah merekrut agen? Bukankah menjadi agen asuransi tidak memerlukan persyaratan yang sulit? Hanya memiliki ijazah SMA pun sudah bisa menjadi agen asuransi, asal memiliki kemauan untuk menjual serta mau mempelajari produk yang akan dijual. Syukur kalau memiliki jaringan yang luas sehingga akan menjadi nilai tambah.
Tidak juga demikian. Tengok gambaran yang diberikan Liza, “Bulan ini kami rekrut 10 orang, bulan depan sisa delapan, lalu bulan berikut sisa enam. Pada akhir bulan ke enam sudah sisa dua orang. Jadi kami harus rekrut terus atau bangkrut,” ujarnya.
Opsi terus melakukan rekrutmen merupakan pilihan bagi perusahaan asuransi berbasis kantor cabang yang mengelola agen sebagai sumber daya manusia yang signifikan. Bagi perusahaan dengan skema branch, agen mendapatkan pendapatan tetap selain komisi dan bonus.
Sementara itu, perusahaan dengan sistem keagenan tak memberikan fixed income dan memberikan komisi dan bonus yang besar untuk menjaga loyalitas agen asuransi. Kondisi itu berdampak pada membengkaknya proses underwriting dan beban disalurkan dalam biaya premi.
Biar bagaimanapun peran agen cukup penting bagi asuransi jiwa. Total pendapatan premi 41 perusahaan asuransi jiwa di Indonesia sampai kuartal I/2007 mencapai Rp7,17 triliun, 83% diantaranya berasal dari asuransi jiwa perorangan.
Premi sebesar itu sebagian besar dihasilkan oleh para agen yang hanya menggarap asuransi untuk perorangan. Sayangnya, ada fakta agen berlisensi sementara yang berjumlah 120.000 orang yang bisa saja menjadi beban bagi perusahaan.
”Kalau saya mengira lebih baik angka ideal untuk biaya itu Rp100.000 per orang,” ujar Reza.
Beragam skema pun disampaikan agar agen tidak berguguran, utamanya terkait rencana kenaikan biaya lisensi agen yakni ditanggung 50%:50% antara agen dan perusahaan.
Ide itu mengacu pada landasan hukum bahwa agen merupakan seseorang atau badan hukum yang memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung (perusahaan asuransi).
Agen berbeda dengan pialang atau broker asuransi yang lebih berperan untuk kepentingan tertanggung (pemegang polis) seperti penanganan penyelesaian ganti rugi dengan perusahaan asuransi.
Direktur Eksekutif AAJI Eddy K.A Berutu mengatakan masukan dan keinginan dari pelaku industri akan dibahas bersama. Pada prinsipnya, pihak asosiasi berupaya mengakomodir kepentingan seluruh anggotanya.
Namun, banyak pula perusahaan asuransi yang tak keberatan dengan jumlah biaya tersebut. Country CEO AXA Indonesia Randy Lianggara melihat kenaikan biaya akan berdampak positif karena biaya itu akan digunakan untuk meningkatkan kualitas agen yang akibatnya juga akan dirasakan perusahaan.
“Itu bertujuan supaya tidak terjadi miss selling, jadi sangat positif karena dengan demikian persistensi jadi rendah otomatis lapse rate juga akan berkurang,” ujarnya.
Bagaimanapun juga lisensi penuh akan meningkatkan kualitas agen sekaligus mencegah pouching atau bajak-membajak agen di industri asuransi jiwa yang sangat merugikan perusahaan dan tertanggung.
Di luar kontroversi antarpelaku industri, pemerintah atau Depkeu selaku regulator tentu harus menyiapkan regulasi yang matang bagi keagenan. Jangan peraturan soal agen hanya satu-dua pasal saja dalam UU maupun Keputusan Menteri Keuangan.
Mari berharap perhatian pemangku kepentingan industri asuransi soal agen dapat mendorong pengembangan pelaku profesi ini untuk berkontribusi bagi perekonomian nasional.


Senin, 11 Februari 2008

Jelas tak perlu jualan ayat

Oleh Fahmi Achmad
Wartawan Bisnis Indonesia
Memacu keuangan syariah yang efektif

Ibarat memelihara tumbuhan, mengembangkan industri keuangan syariah yang belum mengakar kuat di masyarakat seperti jasa finansial konvesional, memang membutuhkan perawatan dan pengawasan yang telaten.
Menghadapi tren lintas sektoral yang saling terkait di industri jasa finansial, tentu pengawasan yang dilakukan regulator jasa keuangan syariah, terhadap industri seperti perbankan, asuransi, pasar modalnya disesuaikan dengan kondisi yang tengah dihadapi.
Itulah yang terlihat ketika otoritas-otoritas moneter di dunia menyampaikan pandangan dan pola pengawasan yang saling berbeda terhadap keuangan syariah, pada 4th Islamic Financial Services Board di Dubai pertengahan Mei 2007.
Pada pertemuan tersebut ada empat negara yang menjadi Luksemburg, Bahrain, Malaysia dan Brunei Darussalam diberikan kesempatan menyampaikan apa saja yang telah dilakukan selama ini.
Luksemburg yang menjadi pihak pertama langsung tancap gas memaparkan kesuksesan mereka sebagai negara kecil di Eropa yang mampu mendistribusikan surat berharga maupun surat utang yang diterbitkan secara syariah, menyaingi London yang terkenal sebagai pusat pasar keuangan syariah.
Sukuk atau instrumen obligasi global syariah yang diterbitkan suatu negara banyak yang telah tercatat di Luxembourg Stock Exchange. Malaysia Global Sukuk senilai US$600 juta periode 2002-2007 dan Qatar Global Sukuk US$700 juta (2003-2010) termasuk dalam daftar di pasar modal Luksemburg, dan semuanya boleh dikatakan sukses didistribusikan kepada investor penjuru dunia.
Bahrain memainkan kartu truf sebagai negara yang menjadi markas The Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions (AAOFI), badan otonomi yang menata sejumlah standar praktik internasional di bidang keuangan syariah.
Salah satu negara teluk kaya minyak ini menjagokan pengembangan industri asuransi syariah. Maklum, penetrasi asuransi yang sering disebut takaful ini, di Bahrain terhadap pertumbuhan domestik bruto (PDB) paling tinggi di antara negara petrodollar Arab lainnya.
Penetrasi takaful terhadap PDB di Bahrain per 2006 sebesar 2,2%, di atas Uni Emirat Arab 1,5%, Qatar 1,1%, Kuwait 0,8% dan Arab Saudi 0,5%. Nama-nama asuransi besar seperti AIG Takaful Enaya, Allianz Life pun mematok target besar di Bahrain.
Namun di Dubai juga terungkap pula persoalan utama asuransi syariah hampir sama baik di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara seluruh negara yaitu kekurangan perusahaan retakaful, meskipun banyak reasuransi pemain global yang berkiprah di sana.
Lepas dari soal asuransi, Malaysia yang menjadi country case ketiga menampilkan Labuan yang menjadi offshore market menyaingi Singapura dan Hong Kong di wilayah Asia.
Layaknya Luksemburg, Labuan merupakan salah satu andalan Malaysia sebagai tempat bagi bank, asuransi maupun perusahaan multifinance yang ingin mencari tambahan dana (fund raising).
Kepercayaan diri Malaysia juga tak lepas dari dukungan kuat bank sentralnya serta fakta bahwa IFSB sendiri memilih berkantor pusat di lantai tiga Gedung Bank Negara di Kuala Lumpur.
Brunei Darussalam sebagai negara termuda di ASEAN tak tanggung-tanggung mengutus Ali Ipong, Permanent Secretary Ministry of Finance (posisi menkeu Brunei dipegang Sultan Hassanal Bolkiah).
Negara kecil di pulau Borneo ini tak hanya mengandalkan minyak tapi juga ingin menunjukkan betapa mudahnya mengoperasikan bisnis syariah. Cukup dimaklumi mengingat Islam menjadi agama mayoritas di negara berpenduduk sekitar 400.000 jiwa ini.
Meski memiliki andalan berbeda, ke-empat negara yang menjadi country case di 4th IFSB Summit tersebut memiliki persamaan yaitu ambisi menjadi hub bagi lalu lintas arus dana syariah global dengan sejumlah fasilitas yang menggiurkan.
Senjata mereka tak hanya mengandalkan peran swasta, dukungan pemerintah dan regulasi yang memudahkan investor menjadi daya tarik utama bagi keuntungan nyata dari masuknya dana-dana internasional.
Ali Ipong mengatakan saat ini aliran dana tersebut masih mencari lokasi halte yang sesuai setelah sempat mampir di Jepang, Singapura, Hong Kong dan China. “Kami tidak berkompetisi dengan Singapura dan Malaysia, kami memakai mereka sebagai penyebar informasi ke seluruh penjuru bahwa kami juga ada,” ujarnya.
Lalu di mana posisi Indonesia? negara dengan keunggulan penduduk muslim terbesar namun tak linier dengan penetrasi jasa finansial syariahnya, baik industri perbankan, asuransi dan pasar modal.
Perbankan syariah di Tanah Air seakan terus terlena menjadi infant industry dengan pangsa pasar yang tak sampai 2% meskipun Bank Muamalat telah beroperasi lebih dari 15 tahun.
Asuransi syariah pun sami mawon, jumlah tiga perusahaan syariah yang beroperasi secara penuh dan didukung sekitar 30 divisi syariah asuransi konvensional tak mampu mengangkat pangsa pasar
Pasar modal syariah pun demikian, lebih banyak diisi kenyataan tak banyak obligasi syariah yang diterbitkan maupun suasana pergerakan saham di Jakarta Islamic Index begitu-begitu saja.
Kondisi itu seakan menjadi handicap bagi Indonesia menangkap peluang dan potensi keuntungan dari aliran dana-dana yang besar di tengah tren lintas sektoral finansial global.
Salah satu insentif regulasi yang paling nyaman bagi investor berupa meminimkan pungutan pajak dari transaksi keuangan, mau dia syariah tanpa bunga maupun ala konvensional.
Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah yang menjadi salah satu moderator pada pertemuan IFSB di Dubai saat itu, juga mengatakan persoalan perpajakan menjadi penghambat dana investor asing berpartisipasi membesarkan keuangan syariah di Tanah Air.
Belum lagi, ketidaksinkronnya sejumlah peraturan menjadi penghalang diterbitkannya instrumen sukuk oleh pemerintah. Padahal sukuk merupakan benchmark terpenting bagi terbitnya instrumen raising fund korporasi yang beroperasi secara syariah maupun konvensional.
Sulit bagi Indonesia bersaing dengan negara-negara tersebut bila tak mau segera mengubah kekakuan struktural serta kesepahaman visi dan komitmen para stakeholders industri syariah.
Kolega Burhanuddin, Zeti Akhtar Aziz yang menjadi Gubernur Bank Negara Malaysia mengatakan arsitektur finansial global diisi keuangan syariah yang selalu berubah secara dinamis. Hal itu, kata dia memerlukan konvergensi dalam kerangka pengawasan dan pengembangan pasar serta industri keuangan syariah.
Legislasi peraturan otoritas fiskal dan moneter yang efisien dan tepat sasaran terkait jasa keuangan syariah di Malaysia telah dimulai sejak dua dekade lalu sehingga aral seperti soal pajak bisa diselesaikan. Koordinasi antaranggota dewan syariah di bank sentral dan pengawas pasar modal juga lekat dalam satu komite eksekutif di negeri jiran tersebut.
Belum lagi, koherensi peraturan finansial syariah di Malaysia yang telah mengadopsi sejumlah standar internasional seperti Bank for International Settlement (BIS), Joint Forum Basel Committee, International Association of insurance Supervisors (IAIS) dan International Organization of Securities Commissions (IOSCO).

Sementara Director and Counsellor, Monetary and Capital Markets Department IMF Jaime Caruana menyerukan perlunya para regulator dan praktisi memberikan respons terhadap 4 K yaitu kompleksitas, konsolidasi, koordinasi dan konvergensi standar.
Keempat prinsip bermuara pada tata kelola manajemen risiko yang perlu lebih ketat mengingat tingginya tensi dan kompleksitas struktur risiko bisnis di tengah era konglomerasi lembaga keuangan finansial global.
Dana Moneter Internasional pun menilai koordinasi berbagai otoritas terhadap pengembangan keuangan syariah perlu efektif dan efisien dalam berbagi informasi maupun melakukan assessment yang komprehensif.
Caruana pun menyerukan adanya kebijakan lintas sektoral industri keuangan syariah yang kondusif dengan mengacu pada standar praktik internasional. Standar yang akan diterapkan tentu harus berlaku bagi seluruh aplikan meskipun ada perbedaan karakteristik industri di tiap-tiap negara.
Namun Caruana mengingatkan penerapan transparansi tak hanya dilakukan praktisi melainkan juga oleh lembaga pengawas dan regulator, dalam membawa industri keuangan syariah di level playing field yang sama dengan konvensional.
Lain lagi usulan mantan Gubernur State Bank of Pakistan Ishrat Husain yang menilai pilihan otoritas pengawas yang berbeda regulator maupun opsi unifikasi regulator perlu dicermati.
Adanya regulator bank, asuransi, pasar modal syariah yang terunifikasi tentu memudahkan koordinasi dan mungkin akan lebih efektif ketimbang pengawasan terpisah yang justru berpotensi menciptakan competitive disadventages.
Meskipun Ishrat memaparkan paling tidak ada enam hal yang perlu dibenahi bila suatu negara memilih mekanisme unifikasi regulator, seperti proses konvergensi peraturan yang susah diterapkan.
Hal lainnya, ego yurisdiksi antarregolator yang masih tinggi dan belum didukung kapasitas serta sumber daya manusia yang memadai, dapat membuyarkan upaya memacu perkembangan industri keuangan syariah.
Apalagi masih banyak praktisi dan pengamat keuangan syariah baik di bank komersial, bank investasi, asuransi, perusahaan manajemen dana yang kapasitas dan kemampuannya perlu ditingkatkan.
Rasanya semua hal itu masih menjadi pekerjaan rumah bagi 94 anggota IFSB yang merupakan wakil 21 negara dari Indonesia di Timur hingga Sudan di Barat. Di Tanah Air, koordinasi seluruh stakeholders jasa keuangan syariah masih perlu dibenahi.
Momentum untuk menjadi hub ataupun pusat keuangan syariah masih dimiliki Indonesia, asalkan jangan lengah disalip negara seperti Brunei.

Selasa, 05 Februari 2008

siapa takut main di sektor mikro?

Mainan baru bank Jepang di mikro


Mimik Akihiro Miyamoto begitu serius menjelaskan lingkungan bisnis Indonesia yang dihadapi manajemen bank yang dipimpinnya. Dirut Bank Resona Perdania ini mengungkapkan persaingan antarbank asal Jepang yang semakin ketat.
Miyamoto pun tegas mengatakan bank yang dipimpinnya akan memperbanyak nasabah perusahaan lokal dan sektor mikro terutama pelaku usaha mikro, kecil menengah di Indonesia dibandingkan dengan perusahaan manufaktur asal Jepang.
“Anda tahu kalau selama tahun lalu investasi baru dari perusahaan manufaktur asal Jepang di Indonesia sudah semakin terbatas. Tentu kami harus melihat peluang lain,” ujarnya.
Pemetaan lingkungan bisnis yang dilakukan Miyamoto cukup beralasan bila melihat fakta kinerja Resona Perdania yang berusia setengah abad masih segitu-gitu saja dibandingkan dengan megabank Jepang lainnya seperti The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd (BTMU) atupun Mizuho dan Sumitomo Mitsui Bank Corporation (SMBC).
Alasan terbatasnya investasi Jepang tentu mengandung perdebatan. Selama 50 tahun hubungan diplomatik kedua negara, total jumlah investasi Jepang mencapai sebesar US$40 miliar, dan hubungan perdagangan kedua negara masih memberikan surplus bagi Indonesia sebesar US$14,2 miliar .
Di sisi lain, peringkat Indonesia sendiri dalam satu dekade ini memang merosot di mata investor Jepang, meski Negeri Sakura itu tetap menjadi penanam modal terbesar dan mitra dagang utama Indonesia.
Tahun-tahun sebelumnya Indonesia selalu menduduki peringkat nomor dua atau tiga dari negara tujuan investasi Jepang. Namun sejak beberapa tahun belakangan negara-negara tetangga seperti Vietnam, dan Thailand terus menduduki peringkat lebih baik ketimbang Indonesia.
Survei terbaru Japan Bank for International Cooperation (JBIC) menempatkan Indonesia di urutan kedelapan dari daftar negara tujuan investasi Jepang, yang berarti naik satu tingkat dari posisi sebelumnya.
Bahkan, perusahaan Jepang sedang mempertimbangkan berbagai investasi senilai800 miliyar yen atau senilai US$7 miliar selama 5 tahun ke depan. Hasil survei JETRO terhadap perusahaan Jepang di kawasan Asia yang diterbitkan pada April 2007, bahwa 50% responden di Indonesia merencanakan perluasan selama 2-3 tahun mendatang.
Sebanyak 131 perusahaan Jepang memposisikan Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi kuat di pasar domestik dan juga merupakan negara tujuan investasi yang penting.
Kondisi tersebut paling tidak melegakan bagi bank-bank penyedia solusi keuangan. Miyamoto mengakui pihaknya masih memiliki 400 nasabah dari 875 perusahaan patungan Jepang-Indonesia di Tanah Air.
Manajemen Bank Resona menilai upaya menjaga loyalitas nasabah korporasi asal Jepang tak sia-sia dan membuat laba bersih terus meningkat 10%-15% tiap tahun pada lima tahun terakhir.
Bagi pebisnis adalah sah untuk mengejar keuntungan di segmen lain meskipun lahan sendiri belum digarap maksimal. Bank-bank asal Jepang ini tentu tak mau kalah dengan bank asing dan campuran lain yang ingin mengejar nasabah lokal terutama sektor mikro.
Data BI menunjukkan margin bunga bersih bank-bank asing dan campuran berkisar 4% dan itu di bawah rata-rata industri yang sebesar 5,70%. Bank seperti HSBC, Rabobank dan Commonwealth tentu ingin merasakan gurihnya NIM seperti BRI dan Danamon yang mencetak margin di atas 10% dengan bermain di sektor mikro.
BRI jelas menjadi raja pencetak profit tertinggi dalam beberapa tahun terakhir sementara Danamon melalui Danamon Simpan Pinjam dan didukung Adira Finance meraih laba dua kali lipat per September menjadi Rp1,6 triliun.
Segmen ekonomi yang sering kali disebut UMKM ini dinilai menguntungkan karena rasio kredit bermasalahnya tak besar karena ada skema penjaminan serta margin besar dari penerapan bunga yang tinggi.
Kemudahan regulasi juga diberikan Bank Indonesia dengan mengganjar fasilitas penurunan kewajiban Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) menjadi 30% bagi bank yang menggunakan skema penjaminan dan pembinaan pelaku usaha UMKM.
Tiga megabank asal Jepang lainnya yaitu BTMU, Mizuho dan SMBC pun tak ingin ketinggalan. Lihat bagaimana BTMU dengan Acom Co berkolaborasi menguasai mayoritas saham PT Bank Nusantara Parahyangan Tbk (BNP).
Acom merupakan perusahaan yang berkedudukan di Tokyo, Jepang. Perusahaan itu bergerak dalam bidang industri jasa pembiayaan dengan menyediakan pinjaman kepada individu atau perusahaan kelas menengah dan kecil.
Perusahaan itu sebelumnya bergerak di Thailand, kemudian melihat peluang di Indonesia. Adapun BTMU merupakan salah satu bank berkelas internasional dari Jepang yang juga berkedudukan di Tokyo dengan kegiatan utama usaha perbankan komersial.
Direktur BNP Nani Wirianti Sugata mengatakan, akuisisi diharapkan dapat membuat bank tersebut lebih maju dan mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah. Pada 2007, sebesar 66,36% kredit BNP disalurkan pada usaha semacam itu.
Tak main-main, gebrakan pertama BTMU melalui Bank Nusantara Parahyangan adalah meluncurkan produk kredit tanpa agunan mulai tahun ini. Kemunculan BTMU paling tidak membuat genderang kompetisi semakin riuh.
Fenomena masuknya pemain besar di lahan mikro disikapi Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Abdul Salam sebagai hal positif. Dia menyebutkan persoalan tumpang tindih dan persaingan antarbank di daerah merupakan sesuatu yang tak bisa dihindari.
Abdul Salam menyebutkan pasar pembiayaan mikro cukup luas dan belum maksimal digarap bank. “Saat ini ada 48 juta UMKM dan baru 18 juta yang dilayani. Semua bank saya kira masih bisa memaksimalkan perannya,” ujarnya.
Abdul Salam mengatakan antarbank umum pun saling sikut-sikutan untuk pembiayaan mikro meskipun menghadapi risiko penurunan margin.
Sikap tak gentar pun dinyatakan Budi G. Sadikin, Direktur PT Bank Mandiri Tbk yang menilai masuknya pemain-pemain asing mencerminkan dukungan industri perbankan terhadap sektor riil. “Semakin banyak semakin bagus,” katanya.
Tapi, partisipasi megabank asal Jepang di segmen mikro mungkin malah membuat kalangan BPR dan BPD semakin meradang tersikut ketatnya persaingan dan kalah bersaing dari sisi modal.

Jumat, 01 Februari 2008

Burhanuddin Abdullah dan Pelempar Dadu

Tuhan bukan pelempar dadu
(Jakarta, Mei 1995)

Karena Tuhan bukan pelempar dadu yang tersenyum pada saat kotak sejarah melintas bentangan waktu,
Kita, para pelakunya mesti, sesekali atau seringkali, berhenti, mengusap keringat, dan bersujud-semedi.

Kita turun sejenak-untuk menengok kelokan hati yang ingin kita damaikan dari roda kerja yang mengencang dan mengguncang.
Dan berhentilah, di malamnya malam, pada saat Tuhan mendekat dan mendekap makhluk lain yang kelelapan.
Besok, “roulette” kehidupan kita terusan sebelum Sang Waktu menghentikan secara bergiliran atau bersamaan.

Berhenti pada titik Qadar, sementara takdir masih berputar, cepat atau dipercepat, pada garis edar yang besar atau diperbesar.
Ia meneteskan rizki,; hasil sekepal amal yang kita kerjakan.Selebihnya, kita sucikan dengan menyantuni yang memerlukan.

Memang, kita boleh keheranan. Tak dinyana, tiba-tiba kita ada di sini.
Kita tercengang-cengang, tetapi merasa punya tujuan.
Bila tujuan itu kita punya, maka yang paling nyata adalah mengoptimalkan kebermaknaan kita untuk keluarga dan teman-teman.

Itu salah satu puisi milik Burhanuddin Abdullah yang terdapat dalam kado ulang tahun ke-60 dari kawan-kawannya. Puisi ini konon termasuk dari 48 artikel yang disisihkan atau tak termasuk dalam buku Menanti Kemakmuran Negeri (Gramedia Pustaka Utama, Juni 2006).
Bertempat di salah satu ruang Executive Room di Hotel Sultan, berkumpul para sanak keluarga dan handai taulan pada acara semi-mewah untuk merayakan ulang tahun Burhanuddin Abdullah.
Malam itu, Jakarta tampak bergembira karena timnas PSSI di Stadion Senayan baru saja meang 2-1 melawan Bahrain. Pesta di Hotel Sultan pun boleh dikatakan tak menjadi santapan insan pers, kecuali kami (saya yang mendampingi mas Yunan selaku redaktur desk perbankan di Bisnis Indonesia).
Bukan hanya keluarga dekat dan kawan-kawan asal Garut dan Pengalengan- Jabar, sejumlah tetamu yang hadir tampak a.l. Arifin M. Siregar dan Adrianus Mooy (dua mantan gubernur BI) dan para deputi gubernur BI (kecuali Miranda Goeltom yang berhalangan karena urusan dinas).
Tak ketinggalan sejumlah bankir senior seperti Rudjito, DE Setijoso (Dirut BCA), Jahja Setiaatmadja (Wadirut BCA), Sofyan Basir (Dirut BRI), Pramukti Surjaudaja (Dirut NISP), Jerry Ng (Wadirut Danamon), I. Supomo (Direktur BNI). Bahkan mitra bermain golf pun turut hadir seperti Gandi Sulistiyanto dan Yan Partawijaya (dua nama tokoh Sinarmas), pada acara ‘kagetan’ tersebut.
Malam itu, kado utama dari tamu undangan yang hadir dirangkum berbentuk buku yang berisi kesan atas pribadi yang berulang tahun. Hampir semua kesan menunjukkan konsensus bahwa Burhanuddin seorang profesional, ekonom, bahkan ada yang memberi gelar filsuf dan budayawan.
Karir penyuka olahraga golf ini di bank sentral dimulai pada 1 Juni 1979 dan 24 tahun kemudian dipercaya memegang tampuk pimpinan BI melalui Keppres RI Nomor 61/M TAHUN 2003 tanggal 17 Mei 2003.
Sempat menganggur dua tahun dari jabatan Menko Perekonomian, Burhanuddin meneruskan pekerjaan Sjahril Sabirin mengentaskan bank sentral dari kecaman kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia seraya menjaga independensi BI dan tugas pokok di bidang moneter.
Kesibukan seorang gubernur bank sentral tak membuat Burhanuddin kehilangan waktu menyalurkan hobinya menulis menulis frasa, puisi, syair dengan makna mendalam, tiap hari.
“Satu dua paragraf tergantung apa yang bisa saya tulis tentang pengalaman hari kemarin atau rencana hari itu, atau juga perenungan atau sebuah pencerahan dari perjalanan hidup yang sangat pendek hari ke hari,” kata dia.
Dan di panggung berhias angka 60 serta dua stik golf, Ketua umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia ini pun menyempatkan diri membacakan sejumlah frasa berisi penghormatan seorang anak terhadap ibunya. Kumpulan kalimat puitis itu dibuat hari itu juga.
Bagi Burhanuddin, kepemilikan atas ketrampilan, seni maupun cita karya akan menjadi strategi dan mesin kebudayaan yang berdampak positif pada produktivitas dan daya saing masyarakat Indonesia.
“Saya kira kita harus segera memikirkannya, karena ketiadaan kultur yang kuat membuat kita kehilangan segalanya. Keprihatinan dan kekhawatiran saya sekarang adalah apabila secara sistematis daya saing kita sebagai bangsa tertinggalkan dan tercecer di belakang,” kata dia.
Mesin budaya itu yang juga ditularkan Burhanuddin dalam memimpin Bank Indonesia. Pengembangan kultur, bukan struktur, merupakan gaya dia untuk menepis penilaian BI hanya sebagai menara gading bagi pelaku industri perbankan.
Satu hari di 1999, Burhanuddin yang ketika itu menjadi ketua umum Ikatan Pegawai BI, membacakan sambutan bertema anak penyamun di sarang perawan, pada acara ramah tamah penyambutan Anwar Nasution selaku deputi gubernur senior BI.
“Sebagaimana halnya semua sarang, isinya tak selalu seperti predikat sarang tersebut. Sarang tikus bisa diisi ular, sarang ular bisa diisi komodo. Di BI pun begitu, mungkin memang ada beberapa penyamun, tetapi yang banyak di sini adalah perawan,” begitu kalimat dia dalam mengimprovisasi sambutan tersebut.
Pada ultah BI ke 54, 2 Juli 2007, Burhanuddin menyuarakan adanya penyegaran komitmen membongkar setiap zona kenyamanan dalam organisasi BI dan menghapus perasaan untuk selalu berpuas diri atas apa yang telah diraih.
Bank sentral kini seakan tak hanya mengurusi soal suku bunga. BI pun diarahkan bergerak dan berperan lebih nyata dalam perekonomian. Sebanyak empat komitmen baru dan beberapa program kerja bank sentral yang tangible dan nyata bagi masyarakat, mungkin menjadi salah satu pencapaian dewan gubernur BI.
Itu pula yang membuat Arifin Siregar menilai Burhanuddin memiliki karakter lain seorang ekonom profesional yang berbeda dengan gubernur BI sebelumnya. Arifin menyebutkan Burhanuddin yang mantan aktivis HMI dan aktif pada diskusi PMII di Unpad ini seorang politician yang memiliki indera keenam.
Beberapa pernyataan politik Burhanuddin dinilai Arifin cukup smart menyentil keadaan ekonomi kini yang belum seperti diharapkan, merupakan pekerjaan dari menteri-meneri lainnya.
Pada beberapa kesempatan di tahun ini, Burhanuddin selalu berharap adanya koordinasi dari otoritas fiskal guna mengimbangi pencapaian di sisi moneter yang berhasil menekan suku bunga. Hal itu tak lepas dari penyaluran kredit yang dinilai berada di lintasan yang tepat namun belum dalam kecepatan yang sesuai harapan.
Di sisi lain, Burhanuddin coba mengarahkan BI mendapatkan penghargaan dan penghormatan dari masyarakat dengan penghormatan terhadap budaya didukung aplikasi kekuatan, ketrampilan dan keahlian staf bank sentral.
Jadi masih ada pekerjaan besar setelah usia 60%? “Saya berpikir barangkali kalau memang selesai.. ya sudah selesai, tapi kita baru tahap awal, masih banyak hal yang bisa dikerjakan,” ujar Burhanuddin tersenyum penuh arti.



Kami sempat berdialog singkat ketika acara ultah tersebut hampir tuntas. Sambil menandatangani buku dan cerutu masih berada di tangan kiri, Burhan pun berceloteh:

Usia 60 berarti apa?
Saya baru mulai, baru pada tahap awal dari kehidupan. Barangkali saya harus memaknai seperti itu demi optimisme yang saya kira akan kita raih di masa depan antara lain saya berpikir kalau memang itu sudah selesai yaa sudah selesai, kita baru tahap awal.

Berarti ada tahap berikut?
Oh iya masih banyak hal yang bisa dikerjakan.
Contohnya?
Kita kan punya banyak masalah di negeri ini. Saya kira saya adalah orang ingin memanfaatkan setiap detik dari kehidupan. Kalau bisa dimanfaatkan saya kira itu baik.

Jadi life begins at 60?
Hahaha barangkali begitu. Life begins at 60.
Kalau tentang puisi untuk ibunda yang tadi dibacakan?
Sebetulnya puisi itu belum selesai, atau kita biarkan saja tidak selesai. Tapi saya akan berikan, itu sudah ada di komputer saya.
Kabarnya proses penciptaannya butuh waktu khusus?
Ohh itu biasa saja karena saya tidak penah menunggu ilham. Saya memaksa ilham itu datang.
Jadi puisi itu dibuat untuk acara ini?
No..no. saya tidak tahu acara ini, paling tidak saya tidak jelas tentang acara ini. Saya hanya kebiasaan menulis saja, each everyday saya itu setelah sholat subuh saya menulis apapun, satu dua paragraf tergantung apa yang bisa saya tulis, tentang pengalaman hari kemarin atau rencana hari itu atau suatu perenungan atau sebuah pencerahan dari perjalanan hidup yang sangat pendek hari ke hari. Itu saya tuliskan dan saya kira ada thousand of pages di komputer, saya tidak tahu mau diapakan.
Mungkin bisa dikumpulkan jadi buku misalnya?
Betul dikumpulkan, tapi itu…tidak ada temanya dan saya membiarkan begitu saja barangkali nanti dipilah-pilah kalau mau diterbitkan.
Apa seorang gubernur bank sentral bersedia untuk monolog di acara kebudayaan?
Tempo hari waktu di Q TV oleh Pradjoto, saya ikut, tema kita tentang bagaimana bangsa ini memiliki suatu strategi kebudayaan. Karena selama ini kita tidak serius tentang strategi kebudayaan sehingga budaya yang ada saat ini tidak menciptakan manusia-manusia Indonesia yang produktif. Karena mesin-mesin budaya yang ada adalah elit politik, elit ekonomi, yang kemudian kita saksikan di mall-mall dan di dalam tayangan (TV), itu membentuk budaya konsumtif kita. Mungkin satu mesin kebudayaan secara serius di negeri ini, oleh kita semua perlu mulai dipikirkan itu.
Rasanya pemerintah tidak berpikir ke sana?
Saya kira mesti berpikir ke sana. Bahwa itu suatu luxury dalam situasi ekonomi seperti ini yang banyak persoalan, saya kita tentu itu persoalan lain. Tetapi saya kira kita harus memikirkannya karena ketiadaan kultur yang kuat membuat kita kehilangan segalanya. Keprihatinan dan kekhawatiran saya sekarang apabila secara sistematis daya saing kita sebagai bangsa tertinggal terus menerus sehingga kita tercecer di belakang. Daya saing adalah sebuah refleksi kumpulan segala macam, dia bisa berbentuk ketrampilan, pengetahuan dan pada akhirnya dia adalah budaya.
Kapan pak Burhan masih sempat pikir soal budaya di tengah kesibukan?
Oh iya harus dong, budaya itu bagian dari kegiatan sehari-hari.