Senin, 11 Februari 2008

Jelas tak perlu jualan ayat

Oleh Fahmi Achmad
Wartawan Bisnis Indonesia
Memacu keuangan syariah yang efektif

Ibarat memelihara tumbuhan, mengembangkan industri keuangan syariah yang belum mengakar kuat di masyarakat seperti jasa finansial konvesional, memang membutuhkan perawatan dan pengawasan yang telaten.
Menghadapi tren lintas sektoral yang saling terkait di industri jasa finansial, tentu pengawasan yang dilakukan regulator jasa keuangan syariah, terhadap industri seperti perbankan, asuransi, pasar modalnya disesuaikan dengan kondisi yang tengah dihadapi.
Itulah yang terlihat ketika otoritas-otoritas moneter di dunia menyampaikan pandangan dan pola pengawasan yang saling berbeda terhadap keuangan syariah, pada 4th Islamic Financial Services Board di Dubai pertengahan Mei 2007.
Pada pertemuan tersebut ada empat negara yang menjadi Luksemburg, Bahrain, Malaysia dan Brunei Darussalam diberikan kesempatan menyampaikan apa saja yang telah dilakukan selama ini.
Luksemburg yang menjadi pihak pertama langsung tancap gas memaparkan kesuksesan mereka sebagai negara kecil di Eropa yang mampu mendistribusikan surat berharga maupun surat utang yang diterbitkan secara syariah, menyaingi London yang terkenal sebagai pusat pasar keuangan syariah.
Sukuk atau instrumen obligasi global syariah yang diterbitkan suatu negara banyak yang telah tercatat di Luxembourg Stock Exchange. Malaysia Global Sukuk senilai US$600 juta periode 2002-2007 dan Qatar Global Sukuk US$700 juta (2003-2010) termasuk dalam daftar di pasar modal Luksemburg, dan semuanya boleh dikatakan sukses didistribusikan kepada investor penjuru dunia.
Bahrain memainkan kartu truf sebagai negara yang menjadi markas The Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions (AAOFI), badan otonomi yang menata sejumlah standar praktik internasional di bidang keuangan syariah.
Salah satu negara teluk kaya minyak ini menjagokan pengembangan industri asuransi syariah. Maklum, penetrasi asuransi yang sering disebut takaful ini, di Bahrain terhadap pertumbuhan domestik bruto (PDB) paling tinggi di antara negara petrodollar Arab lainnya.
Penetrasi takaful terhadap PDB di Bahrain per 2006 sebesar 2,2%, di atas Uni Emirat Arab 1,5%, Qatar 1,1%, Kuwait 0,8% dan Arab Saudi 0,5%. Nama-nama asuransi besar seperti AIG Takaful Enaya, Allianz Life pun mematok target besar di Bahrain.
Namun di Dubai juga terungkap pula persoalan utama asuransi syariah hampir sama baik di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara seluruh negara yaitu kekurangan perusahaan retakaful, meskipun banyak reasuransi pemain global yang berkiprah di sana.
Lepas dari soal asuransi, Malaysia yang menjadi country case ketiga menampilkan Labuan yang menjadi offshore market menyaingi Singapura dan Hong Kong di wilayah Asia.
Layaknya Luksemburg, Labuan merupakan salah satu andalan Malaysia sebagai tempat bagi bank, asuransi maupun perusahaan multifinance yang ingin mencari tambahan dana (fund raising).
Kepercayaan diri Malaysia juga tak lepas dari dukungan kuat bank sentralnya serta fakta bahwa IFSB sendiri memilih berkantor pusat di lantai tiga Gedung Bank Negara di Kuala Lumpur.
Brunei Darussalam sebagai negara termuda di ASEAN tak tanggung-tanggung mengutus Ali Ipong, Permanent Secretary Ministry of Finance (posisi menkeu Brunei dipegang Sultan Hassanal Bolkiah).
Negara kecil di pulau Borneo ini tak hanya mengandalkan minyak tapi juga ingin menunjukkan betapa mudahnya mengoperasikan bisnis syariah. Cukup dimaklumi mengingat Islam menjadi agama mayoritas di negara berpenduduk sekitar 400.000 jiwa ini.
Meski memiliki andalan berbeda, ke-empat negara yang menjadi country case di 4th IFSB Summit tersebut memiliki persamaan yaitu ambisi menjadi hub bagi lalu lintas arus dana syariah global dengan sejumlah fasilitas yang menggiurkan.
Senjata mereka tak hanya mengandalkan peran swasta, dukungan pemerintah dan regulasi yang memudahkan investor menjadi daya tarik utama bagi keuntungan nyata dari masuknya dana-dana internasional.
Ali Ipong mengatakan saat ini aliran dana tersebut masih mencari lokasi halte yang sesuai setelah sempat mampir di Jepang, Singapura, Hong Kong dan China. “Kami tidak berkompetisi dengan Singapura dan Malaysia, kami memakai mereka sebagai penyebar informasi ke seluruh penjuru bahwa kami juga ada,” ujarnya.
Lalu di mana posisi Indonesia? negara dengan keunggulan penduduk muslim terbesar namun tak linier dengan penetrasi jasa finansial syariahnya, baik industri perbankan, asuransi dan pasar modal.
Perbankan syariah di Tanah Air seakan terus terlena menjadi infant industry dengan pangsa pasar yang tak sampai 2% meskipun Bank Muamalat telah beroperasi lebih dari 15 tahun.
Asuransi syariah pun sami mawon, jumlah tiga perusahaan syariah yang beroperasi secara penuh dan didukung sekitar 30 divisi syariah asuransi konvensional tak mampu mengangkat pangsa pasar
Pasar modal syariah pun demikian, lebih banyak diisi kenyataan tak banyak obligasi syariah yang diterbitkan maupun suasana pergerakan saham di Jakarta Islamic Index begitu-begitu saja.
Kondisi itu seakan menjadi handicap bagi Indonesia menangkap peluang dan potensi keuntungan dari aliran dana-dana yang besar di tengah tren lintas sektoral finansial global.
Salah satu insentif regulasi yang paling nyaman bagi investor berupa meminimkan pungutan pajak dari transaksi keuangan, mau dia syariah tanpa bunga maupun ala konvensional.
Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah yang menjadi salah satu moderator pada pertemuan IFSB di Dubai saat itu, juga mengatakan persoalan perpajakan menjadi penghambat dana investor asing berpartisipasi membesarkan keuangan syariah di Tanah Air.
Belum lagi, ketidaksinkronnya sejumlah peraturan menjadi penghalang diterbitkannya instrumen sukuk oleh pemerintah. Padahal sukuk merupakan benchmark terpenting bagi terbitnya instrumen raising fund korporasi yang beroperasi secara syariah maupun konvensional.
Sulit bagi Indonesia bersaing dengan negara-negara tersebut bila tak mau segera mengubah kekakuan struktural serta kesepahaman visi dan komitmen para stakeholders industri syariah.
Kolega Burhanuddin, Zeti Akhtar Aziz yang menjadi Gubernur Bank Negara Malaysia mengatakan arsitektur finansial global diisi keuangan syariah yang selalu berubah secara dinamis. Hal itu, kata dia memerlukan konvergensi dalam kerangka pengawasan dan pengembangan pasar serta industri keuangan syariah.
Legislasi peraturan otoritas fiskal dan moneter yang efisien dan tepat sasaran terkait jasa keuangan syariah di Malaysia telah dimulai sejak dua dekade lalu sehingga aral seperti soal pajak bisa diselesaikan. Koordinasi antaranggota dewan syariah di bank sentral dan pengawas pasar modal juga lekat dalam satu komite eksekutif di negeri jiran tersebut.
Belum lagi, koherensi peraturan finansial syariah di Malaysia yang telah mengadopsi sejumlah standar internasional seperti Bank for International Settlement (BIS), Joint Forum Basel Committee, International Association of insurance Supervisors (IAIS) dan International Organization of Securities Commissions (IOSCO).

Sementara Director and Counsellor, Monetary and Capital Markets Department IMF Jaime Caruana menyerukan perlunya para regulator dan praktisi memberikan respons terhadap 4 K yaitu kompleksitas, konsolidasi, koordinasi dan konvergensi standar.
Keempat prinsip bermuara pada tata kelola manajemen risiko yang perlu lebih ketat mengingat tingginya tensi dan kompleksitas struktur risiko bisnis di tengah era konglomerasi lembaga keuangan finansial global.
Dana Moneter Internasional pun menilai koordinasi berbagai otoritas terhadap pengembangan keuangan syariah perlu efektif dan efisien dalam berbagi informasi maupun melakukan assessment yang komprehensif.
Caruana pun menyerukan adanya kebijakan lintas sektoral industri keuangan syariah yang kondusif dengan mengacu pada standar praktik internasional. Standar yang akan diterapkan tentu harus berlaku bagi seluruh aplikan meskipun ada perbedaan karakteristik industri di tiap-tiap negara.
Namun Caruana mengingatkan penerapan transparansi tak hanya dilakukan praktisi melainkan juga oleh lembaga pengawas dan regulator, dalam membawa industri keuangan syariah di level playing field yang sama dengan konvensional.
Lain lagi usulan mantan Gubernur State Bank of Pakistan Ishrat Husain yang menilai pilihan otoritas pengawas yang berbeda regulator maupun opsi unifikasi regulator perlu dicermati.
Adanya regulator bank, asuransi, pasar modal syariah yang terunifikasi tentu memudahkan koordinasi dan mungkin akan lebih efektif ketimbang pengawasan terpisah yang justru berpotensi menciptakan competitive disadventages.
Meskipun Ishrat memaparkan paling tidak ada enam hal yang perlu dibenahi bila suatu negara memilih mekanisme unifikasi regulator, seperti proses konvergensi peraturan yang susah diterapkan.
Hal lainnya, ego yurisdiksi antarregolator yang masih tinggi dan belum didukung kapasitas serta sumber daya manusia yang memadai, dapat membuyarkan upaya memacu perkembangan industri keuangan syariah.
Apalagi masih banyak praktisi dan pengamat keuangan syariah baik di bank komersial, bank investasi, asuransi, perusahaan manajemen dana yang kapasitas dan kemampuannya perlu ditingkatkan.
Rasanya semua hal itu masih menjadi pekerjaan rumah bagi 94 anggota IFSB yang merupakan wakil 21 negara dari Indonesia di Timur hingga Sudan di Barat. Di Tanah Air, koordinasi seluruh stakeholders jasa keuangan syariah masih perlu dibenahi.
Momentum untuk menjadi hub ataupun pusat keuangan syariah masih dimiliki Indonesia, asalkan jangan lengah disalip negara seperti Brunei.

Tidak ada komentar: