Selasa, 05 Februari 2008

siapa takut main di sektor mikro?

Mainan baru bank Jepang di mikro


Mimik Akihiro Miyamoto begitu serius menjelaskan lingkungan bisnis Indonesia yang dihadapi manajemen bank yang dipimpinnya. Dirut Bank Resona Perdania ini mengungkapkan persaingan antarbank asal Jepang yang semakin ketat.
Miyamoto pun tegas mengatakan bank yang dipimpinnya akan memperbanyak nasabah perusahaan lokal dan sektor mikro terutama pelaku usaha mikro, kecil menengah di Indonesia dibandingkan dengan perusahaan manufaktur asal Jepang.
“Anda tahu kalau selama tahun lalu investasi baru dari perusahaan manufaktur asal Jepang di Indonesia sudah semakin terbatas. Tentu kami harus melihat peluang lain,” ujarnya.
Pemetaan lingkungan bisnis yang dilakukan Miyamoto cukup beralasan bila melihat fakta kinerja Resona Perdania yang berusia setengah abad masih segitu-gitu saja dibandingkan dengan megabank Jepang lainnya seperti The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd (BTMU) atupun Mizuho dan Sumitomo Mitsui Bank Corporation (SMBC).
Alasan terbatasnya investasi Jepang tentu mengandung perdebatan. Selama 50 tahun hubungan diplomatik kedua negara, total jumlah investasi Jepang mencapai sebesar US$40 miliar, dan hubungan perdagangan kedua negara masih memberikan surplus bagi Indonesia sebesar US$14,2 miliar .
Di sisi lain, peringkat Indonesia sendiri dalam satu dekade ini memang merosot di mata investor Jepang, meski Negeri Sakura itu tetap menjadi penanam modal terbesar dan mitra dagang utama Indonesia.
Tahun-tahun sebelumnya Indonesia selalu menduduki peringkat nomor dua atau tiga dari negara tujuan investasi Jepang. Namun sejak beberapa tahun belakangan negara-negara tetangga seperti Vietnam, dan Thailand terus menduduki peringkat lebih baik ketimbang Indonesia.
Survei terbaru Japan Bank for International Cooperation (JBIC) menempatkan Indonesia di urutan kedelapan dari daftar negara tujuan investasi Jepang, yang berarti naik satu tingkat dari posisi sebelumnya.
Bahkan, perusahaan Jepang sedang mempertimbangkan berbagai investasi senilai800 miliyar yen atau senilai US$7 miliar selama 5 tahun ke depan. Hasil survei JETRO terhadap perusahaan Jepang di kawasan Asia yang diterbitkan pada April 2007, bahwa 50% responden di Indonesia merencanakan perluasan selama 2-3 tahun mendatang.
Sebanyak 131 perusahaan Jepang memposisikan Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi kuat di pasar domestik dan juga merupakan negara tujuan investasi yang penting.
Kondisi tersebut paling tidak melegakan bagi bank-bank penyedia solusi keuangan. Miyamoto mengakui pihaknya masih memiliki 400 nasabah dari 875 perusahaan patungan Jepang-Indonesia di Tanah Air.
Manajemen Bank Resona menilai upaya menjaga loyalitas nasabah korporasi asal Jepang tak sia-sia dan membuat laba bersih terus meningkat 10%-15% tiap tahun pada lima tahun terakhir.
Bagi pebisnis adalah sah untuk mengejar keuntungan di segmen lain meskipun lahan sendiri belum digarap maksimal. Bank-bank asal Jepang ini tentu tak mau kalah dengan bank asing dan campuran lain yang ingin mengejar nasabah lokal terutama sektor mikro.
Data BI menunjukkan margin bunga bersih bank-bank asing dan campuran berkisar 4% dan itu di bawah rata-rata industri yang sebesar 5,70%. Bank seperti HSBC, Rabobank dan Commonwealth tentu ingin merasakan gurihnya NIM seperti BRI dan Danamon yang mencetak margin di atas 10% dengan bermain di sektor mikro.
BRI jelas menjadi raja pencetak profit tertinggi dalam beberapa tahun terakhir sementara Danamon melalui Danamon Simpan Pinjam dan didukung Adira Finance meraih laba dua kali lipat per September menjadi Rp1,6 triliun.
Segmen ekonomi yang sering kali disebut UMKM ini dinilai menguntungkan karena rasio kredit bermasalahnya tak besar karena ada skema penjaminan serta margin besar dari penerapan bunga yang tinggi.
Kemudahan regulasi juga diberikan Bank Indonesia dengan mengganjar fasilitas penurunan kewajiban Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) menjadi 30% bagi bank yang menggunakan skema penjaminan dan pembinaan pelaku usaha UMKM.
Tiga megabank asal Jepang lainnya yaitu BTMU, Mizuho dan SMBC pun tak ingin ketinggalan. Lihat bagaimana BTMU dengan Acom Co berkolaborasi menguasai mayoritas saham PT Bank Nusantara Parahyangan Tbk (BNP).
Acom merupakan perusahaan yang berkedudukan di Tokyo, Jepang. Perusahaan itu bergerak dalam bidang industri jasa pembiayaan dengan menyediakan pinjaman kepada individu atau perusahaan kelas menengah dan kecil.
Perusahaan itu sebelumnya bergerak di Thailand, kemudian melihat peluang di Indonesia. Adapun BTMU merupakan salah satu bank berkelas internasional dari Jepang yang juga berkedudukan di Tokyo dengan kegiatan utama usaha perbankan komersial.
Direktur BNP Nani Wirianti Sugata mengatakan, akuisisi diharapkan dapat membuat bank tersebut lebih maju dan mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah. Pada 2007, sebesar 66,36% kredit BNP disalurkan pada usaha semacam itu.
Tak main-main, gebrakan pertama BTMU melalui Bank Nusantara Parahyangan adalah meluncurkan produk kredit tanpa agunan mulai tahun ini. Kemunculan BTMU paling tidak membuat genderang kompetisi semakin riuh.
Fenomena masuknya pemain besar di lahan mikro disikapi Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Abdul Salam sebagai hal positif. Dia menyebutkan persoalan tumpang tindih dan persaingan antarbank di daerah merupakan sesuatu yang tak bisa dihindari.
Abdul Salam menyebutkan pasar pembiayaan mikro cukup luas dan belum maksimal digarap bank. “Saat ini ada 48 juta UMKM dan baru 18 juta yang dilayani. Semua bank saya kira masih bisa memaksimalkan perannya,” ujarnya.
Abdul Salam mengatakan antarbank umum pun saling sikut-sikutan untuk pembiayaan mikro meskipun menghadapi risiko penurunan margin.
Sikap tak gentar pun dinyatakan Budi G. Sadikin, Direktur PT Bank Mandiri Tbk yang menilai masuknya pemain-pemain asing mencerminkan dukungan industri perbankan terhadap sektor riil. “Semakin banyak semakin bagus,” katanya.
Tapi, partisipasi megabank asal Jepang di segmen mikro mungkin malah membuat kalangan BPR dan BPD semakin meradang tersikut ketatnya persaingan dan kalah bersaing dari sisi modal.

Tidak ada komentar: